Penelaahan Risiko Fraud pada Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 kaitannya Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi
Ringkasan Eksekutif
Tata Hutan merupakan kegiatan menata ruang Hutan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Hutan yang intensif, efisien, dan efektif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan. Kegiatan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan tidak terlepas dari perangkat regulasi yang mengaturnya. Terlebih lagi sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) menjadi pintu baru direvisinya berbagai peraturan dan tentu saja berdampak pada peraturan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Kaitannya dengan bidang lingkungan hidup dan kehutanan ada beberapa Peraturan Pemerintah baru yang ditetapkan sebagai dampak dari pengesahan UUCK, diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2021 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Hutan. Salah satu turunan dari PP No 23 tahun 2021 yaitu Permenlhk Nomor 8 tahun 2021 yang mengatur tentang tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi. Salah satu imbas ditetapkannya Permenlhk Nomor 8 tahun 2021 yaitu puluhan Peraturan Menteri yang terkait dengan pengelolaan hutan sebelumnya menjadi tidak berlaku. Padatnya substansi dari Permenlhk Nomor 8 tahun 2021 serta arahnya yang mengacu pada UUCK perlu dikaji apakah masih ada potensi Risiko Fraud dalam implementasinya baik itu ditingkat pusat maupun ditingkat tapak. Risiko Fraud terkait dengan potensi tindak KKN, kerugian negara, dan penyalahgunaan wewenang. Pemetaan Risiko Fraud dan analisis terhadap setiap risiko akan membantu berbagai pihak dalam memitigasi adanya fraud dan dalam rangka menguatkan sistem pengendalian internal pada instansi terkait.
Pendahuluan
Indonesia
memperoleh peringkat ke 73 dari 190 negara dalam kategori Ease of Doing Business (EoDB) / Kemudahan menjalankan Bisnis yang
dikeluarkan oleh World Bank pada
tahun 2020. Peringkat 73 bisa dikatakan peringkat bawah mengingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk dalam 10
besar di dunia. Besarnya PDB di Indonesia mengindikasi cukup besarnya
pergerakan pasar ekonomi dalam berbagai sektor. Salah satu penyebab rendahnya
peringkat Indonesia adalah belum terintegrasinya perijinan yang harus diperoleh
dalam suatu
kegiatan. Langkah
pemerintah untuk mengintegrasikan perizinan dan mempercepat investasi adalah dengan mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UUCK).
UUCK
menjadi gelombang baru direvisinya berbagai regulasi, bukan hanya direvisi
bahkan beberapa regulasi dipangkas untuk menyelaraskan dengan langkah UUCK.
Tidak hanya sektor yang secara langsung bersinggungan dengan investasi dan
ekonomi, sektor lingkungan hidup dan kehutanan juga tidak luput mengikuti arah UUCK. Tata Kelola hutan, yang
sebelumnya diatur dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, diubah dengan PP Nomor 3
Tahun 2008 kini telah diganti dengan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan. Untuk pelaksaaan teknis di lapangan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjabarkan diantaranya melalui Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Di Hutan
Lindung Dan Hutan Produksi.
Permenlhk Nomor 8 Tahun 2021 telah
ditetapkan pada tanggal 1 April 2021 dimana peraturan ini mencabut sebanyak 62
peraturan Menteri yang dibuat dari tahun 2002 hingga 2020. Permenlhk ini
terdiri dari 396 pasal dan diiringi dengan 24 Lampiran, dimana seluruhnya berjumlah
911 halaman. Padatnya isi dari Permenlhk ini memberi kesan bahwa ada upaya
pemerintah untuk meringkas dan
memangkas regulasi. Substansi dari Permenlhk Nomor 8
tahun 2021 perlu didalami lebih jauh apakah terdapat red flag fraud / titik kritis kecurangan mengingat adanya
kemungkinan celah atau lemahnya pasal yang bisa memunculkan potensi kecurangan
bagi pelaksananya. Salah satu yang diatur dalam perubahan ketentuan tersebut
antara lain integrasi
pemanfaatan hasil hutan dalam satu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)
melalui Multiusaha Kehutanan. Penyederhanaan tersebut mempunyai implikasi yaitu
harus dilakukan pemangkasan prosedur, penerapan Sistem Informasi, aplikasi
teknologi (misal citra satelit), mekanisme self-assesment dan self-approval,
dan insentif.
Terkait hal tersebut, maka proses bisnis yang selama ini dilakukan oleh
stakeholders Kehutanan harus bereformasi sesuai dengan tuntutan perkembangan
peraturan.
Dengan diterapkannya Permenlhk Nomor 8 tahun 2021, Inspektorat Jenderal selaku Aparat Pengawas Internal mempunyai peran untuk memberikan masukan kemungkinan adanya celah-celah fraud yang mungkin ditemukan. Diharapkan dengan adanya kajian fraud ini dapat memberikan pandangan dan masukan kepada pimpinan, pelaksana, maupun aparat pengawas untuk memperhatikan hal-hal yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya fraud
Pendekatan yang digunakan dan hasil/bukti dan analisis
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Metode yang digunakan yaitu melakukan elaborasi terhadap peraturan-peraturan terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan meliputi Permenlhk Nomor 8 tahun 2021 dan peraturan yang berlaku sebelumnya, melakukan pengamatan dan survei terhadap pelaksana peraturan, mengidentifikasi titik-titik kritis berdasarkan kemungkinan terjadinya dan dampak yang dihasilkan, mengkaitkan dengan isu-isu terkini dalam sektor pengelolaan dan pemanfaatan Hutan, dan mengkaji jurnal ilmiah kaitannya dengan potensi kecurangan yang mengakibatkan kerugian negara di bidang kehutanan.
1.
Substansi Permenlhk
Nomor 8 tahun 2021
Secara garis
besar Permenlhk ini mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dibagi
dalam 3 aspek yaitu dari aspek hulu, aspek hilir, dan aspek pasar.
a)
Aspek hulu
mengatur pangkal dari mekanisme pengelolaan hutan yang dimulai dari:
1)
Tata Hutan dan
Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan (Pasal 3 s.d. 48) terdiri dari tata hutan,
Rencana pengelolaan hutan, organisasi KPH, fasilitasi dana pembangunan dan
pengembangan KPH, penggantian biaya investasi, arahan pemanfaatan hutan, dan
pembuatan dan/atau penggunaan koridor.
2)
Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) (Pasal 49 s.d. 107) terdiri dari tata cara
permohonan dan perpanjangan PBH, penyesuaian PBPH, perubahan nama pemegang
PBPH, pemindahtanganan PBPH, perubahan luasan, pembatasan perizinan dan penyerahan
Kembali PBPH, PBPH terintegrasi dengan pengolahan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan
Bukan Kayu (BK).
3)
Usaha
Pemanfaatan Hutan (Pasal 108 s.d. 178) terdiri dari Usaha pemanfaatan hutan
lindung, usaha pemanfaatan hutan produksi, dan pemanfaatan kayu kegiatan non
kehutanan (PKKNK).
4)
Penatausahaan
Hasil Hutan (PUHH) (Pasal 253 s.d. 304) terdiri dari penatausahaan hasil hutan
kayu, pengangkutan hasil hutan lelang, ekspor & impor, PUHH pemanfaatan
Kawasan dan jasa lingkungan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan kayu
budidaya dari hutan hak, Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan SKSHH
Pengganti, Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu.
5)
Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan Hutan (Pasal 305 s.d. 341) terdiri dari
pengenaan PNBP, pembayaran dan penyetoran, pembayaran uang muka, hasil hutan
proses lelang, hasil hutan tidak di LHP kan, pengembalian PNBP, pembayaran PSDH
DR atas persetujuan pemerintah, pengendalian dan pengelolaan PNBP, sistem
informasi.
b)
Aspek hilir
mengatur Pengolahan Hasil Hutan yang diatur dalam pasal 179 s.d. 216 terdiri
dari Pendaftaran ulang PBPHH, masa berlaku PBPHH, perubahan dan perluasan
PBPHH, realisasi pembangunan PBPHH atau perluasannya, sumber bahan baku rencana
kegiatan operasional, dan angka rendemen, mesin portable pengolahan kayu, tata
cara permohonan dan penerbitan PBHH, perizinan berusaha pengolahan hasil hutan.
c)
Aspek Pasar
mengatur Pemasaran Hasil Hutan (Penjaminan Legalitas Hasil Hutan) Pasal 217
s.d. 252 dan BILDASWAS dan sanksi administratif pasal 342 s.d. 396.
2.
Pemetaan Risiko fraud
pada Permenlhk Nomor 8 tahun 2021
Risiko memiliki keterkaitan dengan
ketidakpastian. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 menyatakan bahwa risiko adalah suatu kejadian yang mungkin terjadi dan apabila terjadi akan
memberikan dampak negatif pada pencapaian
tujuan instansi pemerintah. Kaitannya
dengan risiko dan fraud yaitu kejadian kecurangan
yang mungkin terjadi pada suatu instansi dan berdampak negative dan menimbulkan
kerugian material maupun immaterial. Donald Cressey dikenal dengan Fraud Triangle Theory,
yang menyatakan bahwa fraud
(kecurangan) dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu peluang, dorongan, dan pembenaran.
Peluang terjadi karena lemahnya sistem, dorongan terjadi karena
keserakahan/kebutuhan, dan pembenaran atas opini pribadi seperti “saya berjasa
banyak”, “orang lain juga melakukannya”. Perlunya pemetaan risiko fraud agar dapat menjadi early warning
bagi instansi untuk memastikan kekuatan sistem pengendalian internal di
lingkungannya apakah telah mampu menghadapi kemungkinan terjadinya fraud di kemudian hari.
Berikut disajikan tabel pemetaan risiko fraud
pada Permenlhk Nomor 8 tahun 2021.
Tabel
identifikasi risiko fraud
pada setiap aspek kegiatan
No |
Aspek Kegiatan |
Fraud yang terjadi |
Dampak akibat fraud |
1. |
Tata Hutan dan
Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan (Pasal 3 s.d. 48) |
Penggelapan
dana fasilitasi KPH untuk kepentingan pihak tertentu.
|
- KPH tidak memperoleh haknya sesuai
ketentuan. - Munculnya ketidakpercayaan (crisis of
trush) dari KPH kepada instansi yang diberi wewenang fasilitasi. |
2. |
Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) (Pasal 49 s.d. 107) |
Suap/Gratifikasi dari pemohon kepada
Pemroses perizinan. |
- Termasuk
tindak KKN yang merugikan negara. - Resiko
pengelolaan Kawasan bukan pada pihak/perusahaan yang berkompeten. - Menghambat
proses percepatan investasi. |
3. |
Usaha
Pemanfaatan Hutan (Pasal 108 s.d. 178) |
Suap/Gratifikasi
dari pemegang izin dalam pengurusan RKUPH dan RKTPH. |
- Termasuk tindak KKN yang merugikan negara. - Resiko pengelolaan Kawasan yang buruk yang
berdampak pada terganggunya keseimbangan alam. |
4. |
Penatausahaan
Hasil Hutan (PUHH) (Pasal 253 s.d. 304) |
|
- Termasuk
tindak KKN yang merugikan negara. - Resiko
adanya penebangan illegal karena manipulasi data.
|
5. |
Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan Hutan (Pasal 305 s.d. 341) |
Manipulasi
data LHP untuk mengurangi nilai PNBP oleh pemegang izin
|
- Termasuk tindak KKN yang merugikan negara. - Potensi berkurangnya pendapatan negara karena
manipulasi data. |
3.
Analisis Titik
Kritis potensi fraud
a. Potensi Penggelapan dana fasilitasi
KPH untuk kepentingan pihak tertentu.
Fasilitasi dalam lingkungan pemerintahan memiliki arti
sebagai kegiatan yang dilakukan oleh instansi kepada suatu pihak dalam rangka
memberikan dukungan dalam mencapai tujuan. Disebutkan dalam pasal 22 bahwa
bentuk fasilitasi KPH yaitu berupa dana
Pembangunan dan pengembangan KPH bersumber dari anggaran Pendapatan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan
tidak mengikat. Ketentuan penyaluran dan penggunaan dana pembangunan dan
pengembangan KPH mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang keuangan. Ada
7 (tujuh) Direktorat Jenderal yang terkait dengan
fasilitasi KPH yaitu Direktorat
Jenderal
Pengelolaan Hutan Lestari, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Badan P2SDM, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum, dan
Direktorat Jenderal
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan.
Dana
fasilitasi KPH sebelum disalurkan termasuk kedalam APBN masing-masing Satker,
kemudian dalam tahun berjalan dana tersebut dialokasi ke KPH. Titik kritis terjadi pada sebelum dilakukan penyaluran ke KPH. Ada risiko
dana fasilitasi tersebut direvisi/dikurangi oleh satker dan diganti dengan
anggaran untuk kepentingan satker, titik kritis yang lain yaitu aset yang
seharusnya disampaikan KPH ada risiko tertahan di satker dan tidak segera
disalurkan ke KPH dalam waktu yang lama.
Jenis fasilitasi yang terindikasi
memiliki titik kritis fraud dalam hal penyaluran sarana dan prasarana yaitu:
1) Pelaksanaan pembangunan
pengelolaan berbasis resor (resort based
management) terdiri dari perencanaan pembangunan resor; pembangunan sarana dan prasarana; dan operasionalisasi resor.
2) Fasilitasi implementasi kebijakan,di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Kegiatan yang rawan terjadinya fraud diantaranya:
a) pengadaan peralatan
pengukuran dan/atau pemetaan digitasi pada fasilitasi inventarisasi Hutan;
b) pembangunan sarana dan
prasarana pada fasilitasi rehabilitasi Hutan dan reklamasi pada KPH;
c) pengadaan dan/atau
pembangunan sarana dan prasarana perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan.
3) Fasilitasi pendampingan, pembinaan, pendampingan, pembinaan kelompok tani Hutan, dan bimbingan teknis dalam mendukung kegiatan pengelolaan perhutanan sosial.
4) Fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam rangka
pengukuhan Kawasan Hutan dan penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan
Kawasan Hutan.
5) Fasilitasi pertumbuhan
investasi, pengembangan industri, promosi produk
hasil hutan dan pasar, untuk mendukung pemulihan ekonomi
nasional. Kegiatan yang rawan fraud diantaranya:
a) Pengadaan sarana dan prasarana promosi investasi
secara online maupun cetak;
b) Pembangunan industri kreatif berbasis komoditas produk
lokal.
c) Pengadaan peralatan ekonomi produktif bagi masyarakat.
b. Potensi Suap/Gratifikasi pada proses Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)
Lembaga
konsultan dan riset yang berbasis di Belanda yaitu TMF Group merilis hasil
laporan tahunannya yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama
sebagai negara paling kompleks untuk berbisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas
Bisnis. Indikator yang digunakan meliputi administrasi bisnis, waktu yang
diperlukan untuk memulai bisnis, perubahan dalam undang-undang perpajakan,
kebijakan seputar upah dan manfaat, hingga tantangan membuka rekening bank (CNN, 16/10/2020). Proses berbisnis berkaitan erat
dengan proses perizinan dalam dunia usaha. Tidak terlepas dengan perizinan, sektor
Lingkungan hidup dan Kehutanan juga memiliki porsi yang cukup penting dalam
dunia bisnis diantaranya terkait perizinan lingkungan dan perizinan kehutanan. Kasus
korupsi terkait perizinan yang
pernah terjadi seperti kasus yang dialami oleh Bupati
Kutaikartanegara Rita Widyasari yang terbukti menerima suap sebesar Enam Miliyar pemberian izin lokasi
PT Sawit Golden Prima pada Desa Muara Kaman seluas 16.000 Ha dan menerima
gratifikasi yang dianggap suap senilai miliyaran rupiah dari para pemohon
terkait penerbitan SKKL, izin lingkungan dan AMDAL. Selain ada juga kasus suap
penerbitan izin menara telekomunikasi/tower oleh Mustofa Kamal Pasha Bupati
Mojokerto, suap perizinan pembangunan proyek Meikarta oleh Neneng Hassanah
Yasin, Bupati Bekasi, suap penerbitan izin prinsip pemanfaatan ruang laut, izin
lokasi reklamasi, izin pelaksanaan reklamasi oleh Nurdin Basirun, Gubernur
Kepulauan Riau, suap terkait izin usaha dan HGU perkebunan oleh Arman Batalipu
Bupati Buol dan lain sebagainya (KPK,
2020). Kasus suap dalam perizinan memang agak sulit dideteksi oleh APIP selaku pengawas
internal. Adapun KPK selaku instansi yang berwenang memiliki jangkauan yang lebih
luas dan dalam sehingga dapat mendeteksi bahkan melakukan operasi tangkap
tangan.
Pada Permenlhk Nomor 8 tahun 2021,
bagian yang menjelaskan tentang perizinan dan pemanfaatan hutan tercantum pada
pasal 49 s.d 107. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) terbagi dalam dua
garis besar yaitu PBPH pada Hutan Lindung dan PBPH pada Hutan Produksi. PBPH
pada Hutan Lindung dilakukan dengan Multiusaha Kehutanan meliputi kegiatan
Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan/atau Pemungutan HHBK.
PBPH pada Hutan Produksi dilakukan dengan meliputi kegiatan Pemanfaatan
Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Pemanfaatan
HHBK, Pemungutan Hasil Hutan Kayu, dan Pemungutan HHBK. Permohonan PBPH
diproses melalui Lembaga OSS.
Persyaratan Permohonan PBPH meliputi
pernyataan komitmen dan persyaratan teknis. Pernyataan komitmen sendiri merupakan
pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan PBPH. Persyaratan teknis meliputi
berbagai hal dan dokumen teknis yang harus dilengkapi oleh pemohon. Titik kritis
fraud pada proses Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diantaranya
sebagai berikut:
1) Pertimbangan teknis dari Gubernur
Pada pasal 56, proposal
teknis harus dilengkapi salah satunya dengan pertimbangan teknis dari gubernur.
Pertimbangan teknis berisi informasi mengenai tata ruang wilayah provinsi atas
areal yang dimohon yang berada dalam Peta arahan Pemanfaatan Hutan. Dalam hal
daerah provinsi terdapat dinas yang membidangi urusan penanaman modal dan
pelayanan terpadu satu pintu, pertimbangan teknis dari gubernur dapat
diterbitkan oleh kepala dinas yang membidangi urusan tersebut. Atas hal
tersebut, ada peluang terjadinya suap dan gratifikasi dalam proses persetujuan
pertimbangan teknis yang dilakukan oleh Gubernur ataupun oleh Kepala Dinas
urusan penanaman Modal dan pelayanan terpadu satu pintu di provinsi.
2) Verifikasi administrasi dan teknis oleh Direktur
Jenderal
Direktur Jenderal dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja melakukan verifikasi administrasi dan
teknis, terhadap pernyataan komitmen dan persyaratan teknis. Hasil verifikasi berupa
permohonan “telah memenuhi kelengkapan persyaratan permohonan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” atau “tidak memenuhi kelengkapan persyaratan
permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Atas hal
tersebut, tahap ini juga rentan terjadinya kasus suap/gratifikasi.
3) Persetujuan Komitmen PBH oleh Sekjen
Sekretaris Jenderal dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja melakukan penelaahan hukum
terhadap konsep persetujuan komitmen PBPH yang diterbitkan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri.
4) Persetujuan Menteri
Menteri dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) hari kerja setelah menerima penelaahan hukum dari Sekretaris
Jenderal, memberikan persetujuan.
5) Persetujuan Komitmen PBH oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal
Dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja setelah menerima konsep persetujuan komitmen PBPH yang
diterbitkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas
nama Menteri menerbitkan persetujuan komitmen PBPH.
Selain hal-hal diatas risiko
adanya fraud juga berpeluang terjadi pada tahap-tahap selanjutnya
seperti penyiapan peta areal kerja oleh Direktur Jenderal, perubahan luasan
perizinan, dan permindahtanganan perizinan.
c. Potensi Suap/Gratifikasi dari pemegang izin dalam pengurusan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) dan Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hutan (RKTPH)
Dalam perencanaan usaha pemanfaatan
hutan dilakukan meliputi inventarisasi Hutan, Penataan areal kerja, dan
penyusunan dokumen perencanaan berupa RKUPH dan RKTPH. Kegiatan inventarisasi
Hutan dilakukan dengan melakukan survei potensi atau identifikasi Hutan oleh
tenaga professional bidang kehutanan. Hasil survei potensi tersebut yang
menjadi dasar Penataan Areal Kerja dan Penyusunan RKUPH. Biaya yang timbul
akibat pelaksaan survei potensi atau identifikasi potensi Hutan dibebankan
kepada Pemegang PBPH. Selanjutnya Rencana kegiatan survei atau identifikasi
potensi Hutan disampaikan kepada Menteri/pejabat yang diserahi tugas dan
tanggungjawab di bidang penilaian dan persetujuan RKUPH, dan salinannya
disampaikan kepada Gubernur.
Titik kritis fraud dalam
pengurusan RKUPH dan RKTPH diantaranya yaitu pada saat Penilaian dan Persetujuan
usulan RKUPH. Pemegang PBPH mengajukan usulan RKUPH kepada Menteri. Menteri
setelah menerima permohonan usulan RKUPH dari pemohon akan melakukan penilaian
dan/atau memberi arahan perbaikan usulan RKUPH paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja. Dalam hal hasil penilaian tidak ada arahan perbaikan maka Menteri
menyetujui RKUPH paling lama 10 hari kerja sejak diterimanya usulan RKUPH.
Penilaian dan persetujuan usulan RKUPH dilaksanakan oleh Direktur Jenderal. Adanya
potensi suap/gratifikasi yang mungkin dilaksanakan oleh Pemohon agar usulan
RKUPH disetujui dan diproses pada saat tahap penilaian dan persetujuan.
d. Risiko suap/gratifikasi pada pelaksanaan Timber Cruising
Pemegang PBPH yang memanfaatkan kayu tumbuh alami melakukan pencatatan rencana produksi tahunan. Pencatatan rencana produksi didasarkan atas hasil inventarisasi pohon/Timber Cruising yang direncakan akan ditebang. Timber Cruising dan identifikasi potensi dilaksanakan oleh GANISHPH atau tenaga professional di bidang kehutanan. Pelaksanaan Timber Cruising dan identifikasi potensi bagi pemegang PBPH yang tidak memiliki GANISHPH maka dapat difasilitasi dengan penugasan GANISPH, Sarjana Kehutanan pada Dinas, KPH, UPT atau pendamping perhutanan sosial. Atas hal tersebut timbul risiko adanya potensi suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh pemegang PBPH dalam pelaksanaan Timber Cruising yang melibatkan GANISPH dan sarjana kehutanan dari Dinas Kehutanan/BPHP/KPH.
Komentar
Posting Komentar