Pengungkapan Murabahah Pada Perbankan Syariah di Indonesia


Perbankan Syariah kita
Peranan bank syari’ah umunya sama dengan perbankan konvensional, yaitu sebagai perantara antara unit-unit ekonomi yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan pembiayaan. Dengan peranan perbankan, termasuk juga perbankan syari’ah, kelebihan dana tersebut dapat didistribusikan kepada pihak yang memerlukan pembiayaan dengan tujuan memperoleh kemanfaatan bagi kedua belah pihak. Secara eksplisit konsep bagi hasillah yang benar-benar mewakili konsep islam dalam perbankan, karena selain ia bisa mengerakkan sektor rill secara berimbang, ia juga berindikasi jangka panjang sehingga akan mempunyai kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Jadi berdasarkan pengertian diatas idealnya bank syariah adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep  loss and profit sharing dalam pegembangan produknya. Dan dalam pengembangannya bank syariah menggunakan konsep mua’malah islamiyah ala indonesia yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional), lalu prakteknya diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan menciptakan suatu mekanisme perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif bagi umat seluruh alam.
Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia saat ini telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Keberadaan perbankan syari’ah di Indonesia juga telah memperoleh payung hukum dengan disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengenai perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan bahwa sistem perbankan syari’ah adalah merupakan bagian dari sistem perbankan nasional.
Aspek legal perbankan syari’ah ini menjadi semakin kuat dengan disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan bagi bank-bank konvensional untuk mengadopsi sistem perbankan syari’ah dalam menjalankan usahanya. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi penerapan dual banking system di Indonesia, yaitu terselenggaranya dua sistem perbankan konvensional dan syari’ah secara berdampingan dalam melayani kegiatan ekonomi masyarakat.
Dengan adanya Undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syari’ah. Efeknya, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah dapat terrealisasi. Perkembangan bank syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang tahan banting terhadap fenomena krisis global akhir-akhir ini. Penyaluran dana dengan prinsip jual beli dilakukan dengan akad murabahah, salam, ataupun istishna. Praktek perbankan syari’ah saat ini masih sangat didominasi oleh produk murabahah. Dominannya pembiayaan murabahah terjadi karena pembiayaan ini cenderung memiliki risiko yang lebih kecil dan lebih mengamankan bagi shareholder.
Hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang. Hal ini secara objektif kembali menunjukkan kelemahan bank syariah sebagai bank bagi hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya.
Menurut berbagai para ahli produk murabahah, masih banyak yang  meragukannya dari sisi syariah, karena tidak terlalu jauh berbeda dari pembiyaan kredit pada lembaga keuangan konvensional. Lantas, seperti apakah Murabahah yang ada di perbankan syariah Indonesia?

Murabahah
Al-Qur’an sebagai salah satu sumber terpercaya umat muslim tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murabahah, meskipun di dalamnya tercantum mengenai jual beli, laba, rugi, dan perdagangan. Dan sampai saat ini tidak ada hadis yang merujuk secara jelas mengenai transaksi murabahah. Jika menengok pada fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000, sebagai landasan syariah transaksi murabahah yaitu dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275, Al hadist : Hadis Nabi dari Abu said Al Khudri bahwa Rosullulah SAW bersabda “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (H.R. Al  Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). Ijma (Ibnu Rusyid, Bidayah al mujtahid, II/161 ; Al-kasani, Bada’i as-Sana’i V/220-222). Kaidah Fikih : “ Pada dasrnya, semua bentuk  muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Sebagai salah satu skim fiqih yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah, murabahah secara sederhana berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan besar required rate of profit-nya (keuntungan yang diperoleh). Murabahah terdiri dari dua unsur yang utama yaitu pertama, harga pokok ditambah biaya-biaya (cost) yang timbul dari pembelian/ pengadaan barang yang pasti, kecuali biaya dilakukan secara estimasi, dan semua ulama sepakat agar pemisahan antara harga pokok dan biaya-biaya. Kedua adalah keuntungan. Murabahah adalah sistem jual beli bersifat amanah.
Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah yaitu pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya, apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang, apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli, pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank syari’ah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syari’ah. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem Profit and loss sharing(PLS), cukup memudahkan. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

Kekeliruan Fatal Murabahah
            Murabahah sebagai produk pembiayaan yang mendominasi nyatanya masih menjadi tanda tanya bagi sebagian ahli ekonomi islam. Penerapan produk murabahah bukannya menghilangkan bunga dan membagi resiko, namun masih dianggap mempertahankan pembebanan bunga yang dibalut konsep syariah.
Ada yang berpendapat murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank konvensional. Penyimpangan dalam praktek/aplikasi murabahah bank syariah adalah seperti ditemukan berulang-ulang pengadaan/ pembelian barang pesanan tidak dilakukan oleh pihak bank, tapi cukup nasabah menyerahkan bukti pembelian barang yang akan di murabahah-kan, di mana hakikatnya nasabah sendiri yang telah membeli barang tersebut atas nama nasabah di faktur. Bank syariah hanya tinggal membayar senilai yang tertera di faktur ditambah keuntungan (margin) seperti yang disepakati bersama (antara bank dan nasabah). Beberapa kasus praktek murabahah menunjukkan adanya penyimpangan dari aturan yang mendasari adanya transaksi murabahah itu sendiri. Penyimpangan itu berupa selipan akad wakalah dalam transaksi murabahah.
Wakalah dalam transaksi murabahah terjadi melalui proses perwakilan antara pihak perbankan kepada nasabah. Dimana pihak perbankan mewakilkan kepada pihak nasabah untuk melakukan pembelian sendiri barang yang diinginkan kepada supplier setelah mendapatkan uang pembelian dari bank. Praktek murabahah semacam ini menyerupai transaksi kredit pada perbankan konvensional. Mengapa demikian? Karena dalam murabahah yang di-selipi akad wakalah penyerahan bukan dalam bentuk barang tetapi dalam bentuk uang cash yang hal ini juga dipraktekkan dalam perbankan konvensional melalui pinjaman kredit. Murabahah model ini sudah tidak murni lagi, tetapi sudah di-pelintir sehingga dapat terjebak pada pemberlakuan model pinjaman kredit seperti pada perbankan konvensional.
Tentunya konsep seperti ini dimungkinkan mengandung unsur jual beli inah karena bank telah membeli barang dari nasabah dengan kontan , lalu dalam waktu yang bersamaan bank menjualnya kembali barang tersebut ke nasabah dengan tempo/ jangka waktu dan dengan harga yang lebih tinggi dari harga pembelian. Praktek ini dikatagorikan inah di mana para ulama sepakat akan keharamannya. Adanya unsur riba dalam jual beli tersebut, dikarenakan bank meminjamkan uang senilai barang yang dibeli kepada nasabah di saat itu lalu bank mengharapkan pengembaliannya dengan tempo, dengan jumlah nominal yang lebih tinggi dari nominal pinjaman.
Begitu ketatnya persaingan bisnis menyebabkan bank syariah sedikit mengabaikan kemurnian prosedur dalam produk syariahnya. Bahkan terkadang nasabah tidak diharuskan menyerahkan bukti pembelian objek/barang secara jelas. Pendanaan untuk murabahah tetap bisa direalisasikan. Tak heran jika nasabah menganggap sistem bank syariah sama dengan bank konvensional. Kebutuhan dana tidak difokuskan untuk pembelian barang melainkan kebutuhan nasabah akan kucuran dana segar.

Harapan untuk Murabahah
Transaksi jual-beli murabahah sebaiknya dilaksanakan di saat barang pesanan statusnya menjadi milik penuh pihak bank syariah dan penguasaan standar syariah terhadap barang tersebut. Adanya tanggung jawab penuh terhadap barang pesanan oleh bank dari sisi kerusakan, kadaluarsa, cacat dan lain-lain sebelum barang tersebut diterima oleh nasabah. Dihindari unsur kesamaran dan ketidak jelasan dalam transaksi seperti, spesifikasi barang pesanan, harga pokok barang, biaya-biaya, tenggang waktu pembayaran dan nominal cicilan. Persentase margin keuntungan pada bank syariah dibandingkan dengan suku bunga. Jadi, suku bunga hanya dijadikan sebagai acuan. Agar pembiayaan murabahah lebih kompetitif, margin murabahah  tersebut harus lebih kecil dari bunga pinjaman. Selain itu pengawasan yang ketat oleh Dewan Syariah Nasional seharusnya dilakukan dalam praktek murabahah agar prakteknya selalu sejalan dengan teori yang melandasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutasi

Penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri Berdasarkan Permendikbud No 25 Tahun 2020

Iuran Pengembangan Institusi (IPI) pada Perguruan Tinggi Negeri