Seribu Kata tentang Masyarakat Adat


Seribu Kata tentang Masyarakat Adat


Indonesia. Sebuah negara kaya,negara paling beragam di dunia. Dengan 17,000 lebih pulau, 600 bahasa, dan 350 etnik yang dimilikinya. Beragam adat, suku, dan budaya menegaskan negeri ini berbhineka. Negeri ini bagai pecahan piring yang berserak karena negeri adalah kepulauan terbesar di dunia. Yang direkatkan dengan lautan dan diikatkan dengan rasa untuk bertunggal ika. Keragaman komunitas adat menjadi salah satu aset bangsa ini sebagai bangsa multibudaya. Sebut saja Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Dayak, Kanekes, Dani, Lindu, To Kajang atau masih banyak lainnya. Masyarakat adat itulah sebutan mereka. Lantas,seperti apa eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Bukankah masyarakat adat kerap diidentifikasi sebagai masyakat minoritas yang masih merasakan marginalisasi dalam hal ekonomi, politik, pembangunan dan lainnya.


Sebelumnya masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, peladang liar, peladang berpindah bahkan ada yang mengatakan sebagai penghambat pembangunan. Mencuatnya isu ketidakadilan terhadap masyarakat pribumi oleh golongan mayoritas ternyata memotivasi ILO untuk mengangkat isu ini dan munculah istilah indigenous people untuk menyebut mereka. Di Indonesia sendiri kata Indigenous people dipopulerkan sebagai kata masyarakat adat.

Hal penting yang harus disadari dan diketahui bersama mengenai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat di Indonesia adalah fakta tentang keragaman mereka. Keragaman ini terlihat dari segi budaya, agama, dan atau kepercayaan serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan permasalah lingkungan hidup, sebagian pihak mengidentifikasi mereka sebagai komunitas yang diandalkan dalam berhubungan dengan alam dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritulitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam.

Beberapa antropolog dan ekolog mengelompokkan masyarakat adat dalam kelompok pemburu-peramu, peladang berpindah (ulang alik) dan petani menetap, maka ada kalangan lain yang mengelompokkan mereka dari perspektif sosio-ekologis. Dalam pengelompokkan ini bukan bermaksud unutk menyederhanakan keberagaman yang ada melainkan untuk mempermudah dalam memahami mereka. Kelompok pertama merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah penjaga kelestarian bumi. Cara hidup mereka seperti dalam hal bertani, berpakaian, dan sebagainya masih dipertahankan secara turun-temurun. Contoh dari masyarakat adat ini adalah masyarakat Kanekes di Banten. Kelompok kedua merupakan masyarakat adat yang masih cukup ketat dalam menjaga adat tetapi mau membuka hubungan dengan dunia luar. Contohnya adalah masyarakat Suku Naga. Kelompok ketiga adalah masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman. Masyarakat adat kelompok ini misalnya Dayak dan Penan di Kalimantan, Dani dan Deponsoro di Papua Barat. Yang terakhir adalah kelompok keempat merupakan masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang asli sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun. Contohnya adalah Melayu Deli dan Betawi.(Tempo 2004)

Sebuah aliansi terbentuk karena melihat keprihatinan masyarakat adat Indonesia, AMAN atau Aliansi Masyrakat Adat Nusantara terbentuk sekitar tahun 1999. Hasil dari pembentukan aliansi ini cukup membantu masyakat adat karena AMAN dengan kongresnya memberitahu pada kita semua tentang kehidupan masyarakat adat dan hak-haknya yang terabaikan. Masyarakat adat memiliki hukum adat. Dalam hukum adat timbul konsepsi tentang hak adat. Hak adat itu sendiri dapat diartikan sebagai hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya. Pemerintah selalu memaksakan kehendak dengan mengatur serta mengambil alih setiap wilayah ataupun hak adat atas nama pembangunan. Sedangkan masyarakat adat itu sendiri selalu berusaha mempertahankan hak dan otoritasnya terhadap apa yang mereka miliki sejak zaman nenek moyang dahulu beserta sistem pengelolaan tradisionalnya. Hal seperti ini juga kerap menjadi pemicu konflik. Bukankah hak penguasaan oleh negara yang diamanatkan dalam UUD 1945 adalah hak untuk memberikan perlindungan dalam dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ideologi negara Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” sebenarnya secara eksplisit mengakui adanya perbedaan budaya dan karenanya Indonesia memiliki karakter sebagai sebuah masyarakat yang plural dan toleran. Namun, negara tampaknya kehilangan kendali atas proses-proses identitas budaya yang pernah dicoba untuk diseragamkan guna kepentingan bangsa berbalut pembangunan nasional. Proses pembangunan nasional yang terkadang mengorbankan hak asasi masyarakat adat kini kerap menimbulkan konflik yang berbasis etnis atas isu pembangunan yang tidak merata dan adanya marginalisasi masyarakat asli.

Pemerintah memandang masyarakat adat di pedalaman sebagai sesuatu yang primitif dan terasing dan perlu program-program berorientasi pembangunan dan modernisasi pada mereka. Namun, pemerintah terkadang melakukan langkah yang tidak disenangi dan dianggap menghina dan melecehkan masyarak adat. Misalnya orang-orang dalam yang mengenakan pakaian adat,yang mereka (pemerintah) pandang sebagai pakain tak sopan, dipaksa untuk mengenakan pakain yang lebih modern. Padahal masyarakat adat merasa tersiksa akan hal ini. Belum lagi dengan permasalahan lain seperti konflik yang terpicu akibat golongan mayoritas yang ingin menguasai sumberdaya-sumberdaya ekologis, ekonomi, atau sumberdaya manusia di dalam wilayah milik penduduk asli.

Pemerintah seharusnya memberikan gerakan yang nyata untuk melindungi segenap masyarakat adat Indonesia. Fakta tentang keberagaman yang ada dalam masyarakat seharusnya menjadi pemicu untuk berusaha mengedepankan keadilan demi ter wujudnya keharmonisan bangsa. Langkah-langkah yang nyata bisa dimulai dengan segera mengimplementasikan hak-hak masyarakat adat secara kontitusional. Selain itu pemerintah juga segera untuk memeratakan pembangunan fasilitas seperti sekolah, puskesmas, dan fasilitas publik lainnya. Meningkatkan kerja sama dengan aliansi masyarakat adat yang ada untuk lebih memahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat adat. Melibatkan perwakilan dari masyarakat adal dalam hal politik, pengembangan ekonomi dan sebagainya.

Hak-hak masyarakat adat senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistik maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hirarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat. Dalam kondisi ini hak-hak masyarakat adat akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan ataun multikulturalistis maka hak-hak masyarakat adat akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah upaya untuk membangun bangsa yang multikultural ini berhadapan dengan tantangan berat,yaitu fakta keanekaragaman yang luas dalam konteks geografi,populasi, suku bangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu membangun negara-bangsa yang multikultural nampaknya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentimen kebangsaan yang kuat.(Mashudi Noorsalim)
Sebagai manusia indonesia,seharusnya kita bangga dan beruntung karena ada masyarakat adat yang jumlahnya ribuan kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena dengan demikian ada beragam ilmu pengetahuan dan budaya yang telah mereka kembangkan.


Purwokerto, 02 September 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutasi

Penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri Berdasarkan Permendikbud No 25 Tahun 2020

Iuran Pengembangan Institusi (IPI) pada Perguruan Tinggi Negeri